Siapa Sebenarnya Ma'mun Affany?
Ma'mun Affany |
Akhir-akhir ini foto-foto akhwat bersama deretan novel dari Ma'mun Affany beredar. Mereka paling tidak memegang dua sampai lima, bahkan enam novel. Kemudian mereka menulis status, novelnya bikin baper, menusuk hati, dll. Lalu siapakah sebenarnya Ma'mun Affany?
Nama Ma'mun Affany lebih dikenal sebagai penulis novel-novel romantis, religius, dan inspiratif. Penulis yang lahir di Tegal ini sudah melahirkan tujuh novel. Adzan Subuh Mengempas Cinta, Kehormatan di Balik Kerudung, 29 Juz Harga Wanita, Satu Wasiat Istri untuk Lelaki, Cemburu di Hati Penjara Suci, Doa Anak Jalanan, dan Satu Jodoh Dua Istikharah.
Bila dibandingkan dengan penulis lain di Indonesia, nama Ma'mun Affany memang tidak begitu tenar, bahkan tidak terdengar. Namun demikian jika menilik jumlah novel yang sudah tersebar, maka penulis alumni pondok Gontor ini tidak bisa dipandang sebelah mata. Hampir semua pembacanya mengoleksi semua novel yang ditulisnya.
Tercatat lebih dari 35.000 novelnya sudah beredar di seluruh Indonesia. Semua novelnya bahkan selalu cetak ulang hingga sekarang. Novelnya paling banyak beredar di wilayah Jawa Timur. Pembaca setianya rata-rata dari pondok pesantren. Sehingga setelah alumni mereka semua membawa novel-novel karangan Ma'mun Affany ke daerah masing-masing.
Ada beberapa sebab yang menjadikan novelnya selalu dinanti oleh pembaca setianya. Pertama, alurnya selalu cepat, sehingga membaca novel Ma'mun Affany terasa begitu cepat dalam sekali duduk saja. Anda yang belum pernah membaca novel pun, jika membaca karya Ma'mun Affany seperti terbius.
Kedua, tema yang dibawa adalah persoalan cinta kental khas anak muda. Arus cerita yang ini membuat hampir semua pembacanya hadir dari usia 15 sampai dengan 30 tahun. Aroma cintanya begitu kental, dengan uraian khas dan mendalam. Sehingga persoalan cinta mengakar kuat dalam novel-novelnya. Mirip seperti karya Hamka. Bahkan banyak pembaca yang menangis ketika mengikuti alur cerita dalam karya Ma’mun Affany.
Ketiga, gaya bahasa yang disampaikan tidak sulit untuk dipahami. Ya, bahasanya sederhana, tidak begitu tinggi dalam kesastraan, namun justru kelihaian dalam merangkai kata sederhana yang patut diacungi jempol. Ma'mun Affany sepertinya mengetahui bahwa bahasa yang baik adalah bahasa yang paling mudah dipahami oleh pembaca. Sehingga jangkauan pembacanya begitu luas menjangkau siapa saja yang menyiukwi novel, atau mereka yang baru ingin membaca novel.
Keempat, titik tekan dalam novelnya selama ini selalu perempuan. Hampir semua tokoh yang paling kuat dalam novelnya adalah perempuan. Ini menjadi nilai unik mengingat Ma’mun Affany adalah seorang laki-laki. Namun jangan dikira hambar, justru aroma emosi perempuan begitu terlihat dalam setiap kalimat-kalimatnya. Inilah yang pada akhirnya 90 persen pembacanya dari kaum hawa. Saya sendiri mengalami masa di mana banyak santriwati di pondok membawa buku karya Ma’mun Affany.
Kelima, novelnya memberikan banyak pesan bagi pembaca. Menurut Zainal Arifin Emka, mantan pemred Surabaya Post, menyatakan bahwa keunggulan novel Ma’mun Affany ada pada kemahirannya dalam menyampaikan pesan-pesan inspiratif dan motivatif dalam dialog dan deskripsinya. Jangan dikira seperti Ayat-Ayat Cinta, Ma’mun Affany sanggup menyelipkan pesan itu dengan cara cukup halus. Sehingga seringkali pembaca novel Ma’mun Affany membawa pena untuk menggaris bawahi tulisan di novelnya. Pesan yang paling jelas adalah dorongan menjadi wanita solecha.
Keenam, ceritanya selalu menghanyutkan. Ya, Anda sebagai pembaca benar-benar akan terbawa masuk ke dalam cerita dan seperti menjadi salah satu tokohnya. Anda akan diaduk dengan emosi yang meluap-luap, kadang Anda dibuat kagum dengan ceritanya, tapi juga kadang Anda dibuat benci dengan penulisnya karena pembawaan cerita di dalamnya. Bahkan ada kejadian nyata di mana seorang santriwai membangunkan semua temannya di kamar karena menangis sesenggukan. Setelah ditanya kenapa menangis, semua tertawa, karena penyebabnya adalah membaca novel karya Ma’mun Affany.
Ketujuh, antara satu novel dengan novel yang lainnya membawa cerita yang berbeda-beda. Ya, seringkali penulis terjebak dengan romantisme sebuah novel, sehingga cerita satu novel dengan yang lain terkesan mirip, itu-itu saja. Tapi Ma’mun Affany berbeda. Kisah yang ada di novel satu akan berbeda dengan kisah di novel kedua, begitu juga yang kedua sangat berbeda dengan kisah di novel yang lainnya. Sehingga banyak pembaca kemudian mengoleksi semua novelnya.
Bagi Anda yang belum pernah membaca satu pun novelnya, saran kami bacalah. Anda akan mendapatkan banyak pelajaran dari cerita-ceritanya. Memang novelnya hanya beredar terbatas, namun bisa dipesan langsung ke penulis di 085747777728. Biasanya setelah 5 hari barang akan sampai. Apalagi jika Anda muslimah, harus baca. Buktinya banyak perempuan yang berhijrah menjadi berjilbab setelah membaca novelnya.
Benarkah Buku Musnah Menjelma Digital?
Setelah tersiar kabar edisi cetak Newsweek tutup karena
tergeser edisi digital, maka semua yang berkutat pada dunia cetak mulai
waspada. Maklum, Newsweek merupakan raksasa media cetak yang sudah berumur
lebih dari 80 tahun. Lalu bagaimana dengan nasib buku? Apakah juga akan musnah?
Tidak bisa dimungkiri, adanya konten-konten digital membuat
penjualan buku merosot drastis. Namun demikian ada beberapa hal yang menjadikan
buku tetap tidak bisa tergantikan. Terutama pada kenyamanan dalam membacanya. Maka
orang-orang yang suka membaca, tidak bisa berpindah dari dunia digital
sepenuhnya. Oleh sebab itu toko-toko buku masih tetap bertahan.
Namun jangan terlalu pede terlebih dahulu. Dengan mudahnya
orang mengakses bacaan melalui dunia digital, maka pembaca kemudian sangat
selektif dalam membaca buku fisik. Oleh sebab itu buku dengan kualitas biasa
akan sangat sulit diserap pasar, bahkan sedikit bagus tidak cukup. Harus cukup
bagus dan enak untuk dibaca.
Fenomenanya adalah, setiap orang kini membaca dulu edisi
digital sekilas, mungkin beberapa halaman. Jika kemudian benar-benar bagus,
pembaca akan membeli edisi cetak untuk koleksi dan kepuasan pribadi. Penulis sendiri
pernah mengalami hal demikian saat membaca 47 Ronin. Ada ketertarikan, kemudian
pada akhirnya membeli edisi cetak meski sudah menonton filmnya.
Hal yang sama sebenarnya terjadi pada media lain selain
buku, dunia musik. Memang semua orang mudah untuk mendownload. Namun ternyata
bisnis kepingan hitam tidak hilang, atau habis. Justru ketika mendengarkan dan
mendapatkan klik akan membeli piringan hitam tersebut.
Seperti yang dialami oleh David Karto seperti dikisahkan
dalam Kompas, Jum’at, 23 Oktober 2015. Ia menceritakan bahwa justru di era
digital ini piringan hitam menemukan pasarnya karena dipesan sampai ke luar
Negeri. Uniknya, lagu-lagu yang dipasarkan justru yang jarang dikenal di layar
kaca, tapi menurut David berkualitas luar biasa.
Titik penting terletak pada sisi kualitas. Jika
setengah-setengah kualitasnya, lebih baik jangan dicetak, jika cukup bagus maka
layak untuk dicetak. Penulis sendiri merasakan bahwa dunia buku masih tetap ada,
bahkan mendapatkan pemesanan setiap bulan sekitar 50 eksemplar. Tergolong cukup
untuk penulis Indie. Apalagi penerbit mayor, pasti jauh lebih banyak. Oleh sebab
itu justru sekarang eranya menarik hati konsumen tanpa memandang penerbit dan
penulis.
Metode Menulis Otodidak Iman Supriono
Iman Supriono adalah pakar manajemen yang tinggal di
Surabaya. Biro konsultannya yang terkenal adalah SNF Consulting, namun beliau
juga menulis banyak buku manajemen dan motivasi. Bukunya yang banyak terjual adalah
Guru Goblok vs Murid Goblok. Namun demikian yang unik dari pria berbadan kurus
ini adalah caranya belajar menulis secara otodidak.
Saya mendengarkan penjelasannya ketika menjadi moderator
dalam Islamic Book Fair Surabaya 2014. Saya pribadi belum pernah mendengarkan
metode menulis otodidak seperti yang dipaparkan Iman Supriono ketika itu.
Konsultan manajemen tersebut meyakini bahwa metodenya benar,
meskipun bagi orang lain tidak masuk akal. Ini yang pertama di tanam dalam diri
beliau. Selanjutnya yang dilakukan hanyalah mewajibkan diri untuk menulis
setiap hari paling tidak satu halaman buku tulis, dan akan terus berkembang
secara jumlah halaman setiap hari.
Hanya itu, ya. Tapi ini sangat sulit dilakukan. Kontinuitas
yang berkepanjangan adalah hal paling melelahkan. Iman Supriono mewajibkan diri
ini hampir empat tahun. Intinya menulis setiap hari, dalam hal apapun. Menulis
tentang perempuan, tentang makan, keadaan perut lah, atau bahkan keadaan hati
yang sedang tidak menentu. Yang terpenting nulis setiap hari tanpa berhenti.
Dasar dari metode ini adalah keyakinan bahwa menulis
sebenarnya bukanlah teori, tapi praktek yang dilakukan terus menerus dan akan
berkembang dari satu latihan ke latihan yang lain. Boleh dikatakan Iman
Supriono seperti Ronaldinho atau Ronaldo yang berlatih sepakbola dari jalanan,
tanpa akademi. Ya, Iman Supriono belajar menulis juga sendirian tanpa seorang
guru.
Yang paling menimbulkan pertanyaan tentu saja bagaimana cara
Iman Supriono mengetahui perkembangan tulisannya. Beliau membacanya kembali
tulisan yang dibuat. Jika dirasa tulisan tersebut sudah cukup baik maka beliau
baru berhenti dan memulai untuk menulis buku. Tentu saja bukan dengan penilaian
asal-asalan, tapi juga membandingkannya dengan tulisan lain.
Uniknya, beliau baru mengatakan bahwa tulisannya dirasa
sudah cukup baik justru setelah hampir empat tahun menulis setiap hari tanpa
jeda. Ingat! Setiap hari tanpa jeda. Waktu yang panjang bukan? Padahal
kelemahan banyak orang adalah memaksa diri untuk konsisten.
Hasilnya memang luar biasa, kini beliau memiliki lebih dari
7 buku yang sudah ditulis. Tergolong cukup banyak untuk penulis di Indonesia.
Bagi yang ingin untuk mengikutinya, tentu saja harus memahami dua hal. Pertama,
menanamkan keyakinan yang sangat tinggi dengan metode yang dijalani. Kedua,
konsisten dengan hal yang sudah diyakini. Dari sini kesuksesan dalam menulis
bukanlah hal yang mustahil.
Fungsi Paragraf Komparasi atau Perbandingan
Dalam menulis ilmiah, atau bahkan artikel ringan yang populer, paragraf komparasi memiliki kedudukan yang sama pentingnya dengan deskripsi atau definisi. Paragraf komparasi artinya membandingkan antara satu hal dengan hal yang lain. Maka dari perbandingan ini akan didapatkan sebuah penjelasan.
Contoh: ketika mengatakan masjid di desa Ponolawen sangat megah dibandingkan dengan masjid Agung Pekalongan. Orang pasti akan mengira kemegahannya biasa. Namun demikian ketika perbandingan ini ditulis, masjid di desa Ponolawen sangat megah dibandingkan masjid Kubah Mas. Pasti pembaca dari tulisan ini terkesima, masjid Kubah Mas saja begitu megah, apalagi masjid Ponolawen.
Yang sering terjadi adalah, perbandingan yang ditulis cenderung tidak seimbang. Dalam arti jika ingin membandingkan dari sisi kelebihan sebuah sekolah, maka sekolah A harus dilihat dari segi kurikulum, sekolah B juga harus dilihat dari segi kurikulum. Bukan membandingkan dari sekolah A kurikulum, tapi sekolah B justru dilihat dari fasilitas. Ini paragraf komparasi atau perbandingan yang fatal. Bahkan penulisnya akan terlihat bodoh.
Belum lagi ketika membandingkan tiga hal di satu paragraf, jika belum memiliki kelihaian, maka pembaca akan sulit mencerna. Paragraf yang sedemikian pendek terlalu ribet jika dijadikan perbandingan lebih dari dua hal. Kalaupun memang ada tiga hal yang harus dibandingkan, maka yang ketiga lebih baik di paragraf selanjutnya.
Penulis juga harus punya seni dalam membandingkan dua hal yang dikomparasikan. Menjadikannya head to head, atau justru menjelaskannya terlebih dahulu secara tuntas, baru kemudian dibandingkan dengan yang lainnya. Ini tergantung bahan dan bagaimana gaya penulis dalam memaparkan.
Oleh sebab itu banyak tulisan justru ketika memasukkan sebuah perbandingan, tidak menjadikan penjelasannya semakin gamblang, namun justru membuat pembaca semakin pusing dan mengernyitkan dahi untuk benar-benar memahami maksud dari tulisan. Jika ingin kuat di tulisan non fiksi, maka paragraph komparatif atau paragraf perbandingan harus dikuatkan.
Contoh: ketika mengatakan masjid di desa Ponolawen sangat megah dibandingkan dengan masjid Agung Pekalongan. Orang pasti akan mengira kemegahannya biasa. Namun demikian ketika perbandingan ini ditulis, masjid di desa Ponolawen sangat megah dibandingkan masjid Kubah Mas. Pasti pembaca dari tulisan ini terkesima, masjid Kubah Mas saja begitu megah, apalagi masjid Ponolawen.
Yang sering terjadi adalah, perbandingan yang ditulis cenderung tidak seimbang. Dalam arti jika ingin membandingkan dari sisi kelebihan sebuah sekolah, maka sekolah A harus dilihat dari segi kurikulum, sekolah B juga harus dilihat dari segi kurikulum. Bukan membandingkan dari sekolah A kurikulum, tapi sekolah B justru dilihat dari fasilitas. Ini paragraf komparasi atau perbandingan yang fatal. Bahkan penulisnya akan terlihat bodoh.
Belum lagi ketika membandingkan tiga hal di satu paragraf, jika belum memiliki kelihaian, maka pembaca akan sulit mencerna. Paragraf yang sedemikian pendek terlalu ribet jika dijadikan perbandingan lebih dari dua hal. Kalaupun memang ada tiga hal yang harus dibandingkan, maka yang ketiga lebih baik di paragraf selanjutnya.
Penulis juga harus punya seni dalam membandingkan dua hal yang dikomparasikan. Menjadikannya head to head, atau justru menjelaskannya terlebih dahulu secara tuntas, baru kemudian dibandingkan dengan yang lainnya. Ini tergantung bahan dan bagaimana gaya penulis dalam memaparkan.
Oleh sebab itu banyak tulisan justru ketika memasukkan sebuah perbandingan, tidak menjadikan penjelasannya semakin gamblang, namun justru membuat pembaca semakin pusing dan mengernyitkan dahi untuk benar-benar memahami maksud dari tulisan. Jika ingin kuat di tulisan non fiksi, maka paragraph komparatif atau paragraf perbandingan harus dikuatkan.
Ini Alasan Harga Buku di Indonesia Mahal
Orang Indonesia masih menganggap buku merupakan barang mewah, bukan kebutuhan sekunder, apalagi primer, masih dianggap tersier. Salah satu alasannya adalah harga buku yang tergolong mahal, meskipun sebenarnya jika dibandingkan dengan pulsa anggapan ini masih belum benar-benar betul. Namun demikian, ada banyak factor mengapa di Indonesia harga buku tergolong mahal.
Ongkos produksi buku cukup tinggi. Ini factor utama pendorong betapa mahalnya harga buku di Indonesia. Terutama harga kertas yang selalu ditentukan oleh nilai mata uang dolar Amerika. Padahal pohon di Indonesia banyak. Berapa nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar menjadi gambaran bahwa harga kertas mahal. Belum lagi tinta dan lain sebagainya. Dari sini harga buku terdongkrak naik.
Pajak tinggi untuk pelaku dunia perbukuan. Jangan dikira hanya percetakan saja yang memiliki kewajiban membayar pajak karena berbentuk perusahaan. Bahkan sampai penerbit, penulisnya, dan bukunya itu sendiri sudah terkena pajak. Akibatnya pembeli juga menanggung pajak karena ditambahkan dalam harga. Otomatis untuk mendapatkan sedikit selisih, harga buku kian dinaikkan.
Orang Indonesia gengsinya masih sangat tinggi. Apa hubungannya? Orang Indonesia tidak begitu suka buku dengan kertas murahan, cover ecek-ecek, bahkan tipis tebalnya kertas menjadi perhitungan. Buku dengan kemasan demikian meski isinya bagus, bagi orang Indonesia sangat tidak bermutu. Orang Indonesia memang banyak yang lebih suka bungkusnya daripada isinya, yaitu ilmu pengetahuan. Tentu saja untuk mencetak buku dengan kualitas demikian butuh biaya besar.
Dukungan pemerintah yang nihil. Pemerintah Indonesia memang memiliki keinginan agar kaya, bukan berkeinginan mencerdaskan masyarakatnya. Padahal kekayaan akan hadir seragam dengan kecerdasan dan kreativitas yang dimiliki. Masyarakat tidak didorong untuk membaca.
Tidak ada subsidi untuk buku seperti yang dilakukan di India yang menjadikan harga buku murah, daya baca masyarakat tinggi, dan keilmuan masyarakat meningkat. Padahal pada kisaran tahun 1955 pemerintah pernah melakukan subsidi untuk buku, yaitu dalam bentuk pemberian subsidi kepada bahan bakunya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Jangan bicara keilmuan di Indonesia. Hehehehe.
Akibatnya harga buku tergolong tinggi. Padahal dari harga buku yang sudah demikian tinggi, penulis masih belum sejahtera, bahkan jauh dari kata-kata sejahtera. Efek lebih buruk lagi, sdm dengan kualitas penulisan sangat baik tidak ada yang produktif menulis dalam hidupnya, lebih baik tenaganya disalurkan pada bidang lain. Sehingga buku-buku berkualitas di Indonesia masih belum banyak.
Namun demikian bukan berarti pelaku dunia perbukuan pesimis. Banyak yang mencoba untuk menangani problem ini dengan penerbitan indie yang langsung dijual ke konsumen. Dengan cara demikian harga buku yang mahal mampu dipotong 20% dari harga buku umumnya. Misalkan harga buku di pasar 50.000, turun menjadi 40.000, bahkan bisa lebih rendah lagi. Tetap semangat!
Ongkos produksi buku cukup tinggi. Ini factor utama pendorong betapa mahalnya harga buku di Indonesia. Terutama harga kertas yang selalu ditentukan oleh nilai mata uang dolar Amerika. Padahal pohon di Indonesia banyak. Berapa nilai tukar mata uang rupiah terhadap dolar menjadi gambaran bahwa harga kertas mahal. Belum lagi tinta dan lain sebagainya. Dari sini harga buku terdongkrak naik.
Pajak tinggi untuk pelaku dunia perbukuan. Jangan dikira hanya percetakan saja yang memiliki kewajiban membayar pajak karena berbentuk perusahaan. Bahkan sampai penerbit, penulisnya, dan bukunya itu sendiri sudah terkena pajak. Akibatnya pembeli juga menanggung pajak karena ditambahkan dalam harga. Otomatis untuk mendapatkan sedikit selisih, harga buku kian dinaikkan.
Orang Indonesia gengsinya masih sangat tinggi. Apa hubungannya? Orang Indonesia tidak begitu suka buku dengan kertas murahan, cover ecek-ecek, bahkan tipis tebalnya kertas menjadi perhitungan. Buku dengan kemasan demikian meski isinya bagus, bagi orang Indonesia sangat tidak bermutu. Orang Indonesia memang banyak yang lebih suka bungkusnya daripada isinya, yaitu ilmu pengetahuan. Tentu saja untuk mencetak buku dengan kualitas demikian butuh biaya besar.
Dukungan pemerintah yang nihil. Pemerintah Indonesia memang memiliki keinginan agar kaya, bukan berkeinginan mencerdaskan masyarakatnya. Padahal kekayaan akan hadir seragam dengan kecerdasan dan kreativitas yang dimiliki. Masyarakat tidak didorong untuk membaca.
Tidak ada subsidi untuk buku seperti yang dilakukan di India yang menjadikan harga buku murah, daya baca masyarakat tinggi, dan keilmuan masyarakat meningkat. Padahal pada kisaran tahun 1955 pemerintah pernah melakukan subsidi untuk buku, yaitu dalam bentuk pemberian subsidi kepada bahan bakunya. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama. Jangan bicara keilmuan di Indonesia. Hehehehe.
Akibatnya harga buku tergolong tinggi. Padahal dari harga buku yang sudah demikian tinggi, penulis masih belum sejahtera, bahkan jauh dari kata-kata sejahtera. Efek lebih buruk lagi, sdm dengan kualitas penulisan sangat baik tidak ada yang produktif menulis dalam hidupnya, lebih baik tenaganya disalurkan pada bidang lain. Sehingga buku-buku berkualitas di Indonesia masih belum banyak.
Namun demikian bukan berarti pelaku dunia perbukuan pesimis. Banyak yang mencoba untuk menangani problem ini dengan penerbitan indie yang langsung dijual ke konsumen. Dengan cara demikian harga buku yang mahal mampu dipotong 20% dari harga buku umumnya. Misalkan harga buku di pasar 50.000, turun menjadi 40.000, bahkan bisa lebih rendah lagi. Tetap semangat!